WartaJaya.com – Deretan kasus perundungan di berbagai sekolah di Indonesia menjadi sorotan utama dalam beberapa bulan terakhir. Dari Cilacap hingga Tangerang Selatan, insiden-insiden yang menimpa para pelajar telah mengguncang hati masyarakat. Bukannya memberikan rasa aman dan perlindungan, lingkungan sekolah justru menjadi tempat yang menakutkan bagi beberapa siswa. Deretan kasus ini menunjukkan urgensi #stopbullydisekolah yang harus terus diupayakan semua pihak.
Kasus viral di Cilacap menjadi pukulan telak bagi citra pendidikan di Indonesia. Video yang menunjukkan seorang remaja menjadi korban pemukulan brutal oleh rekan sebayanya mengejutkan banyak pihak. Korban yang mengalami patah tulang dan luka serius merupakan gambaran nyata betapa ganasnya perundungan yang terjadi di kalangan pelajar.
Namun, Cilacap bukanlah satu-satunya tempat di mana perundungan merajalela. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh UNICEF pada tahun 2020, angka perundungan di Indonesia mencapai 41 persen di kalangan remaja, dengan tambahan 45 persen kasus cyberbullying. Ini adalah gambaran yang mengkhawatirkan tentang kondisi keselamatan mental dan fisik para pelajar di negeri ini.
Di tengah kekhawatiran ini, media sosial telah memainkan peran yang penting dalam mengungkap kasus-kasus perundungan. Dari Cimahi hingga Gresik, video dan cerita-cerita mengenai tindakan kekerasan di sekolah tersebar luas, memperlihatkan betapa meresahkannya situasi di sebagian lingkungan pendidikan.
Salah satu deretan kasus yang mencuat adalah peristiwa di sebuah sekolah di Cimahi, Jawa Barat. Lima pelajar SMK terlihat menendang dan memukuli seorang korban yang tersudut di tembok. Rekaman ini, yang diambil oleh seorang warga, memperlihatkan kekejaman yang tidak bisa ditoleransi dalam sebuah masyarakat yang beradab.
Tidak hanya di Cimahi, kasus serupa juga terjadi di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Sebuah video memperlihatkan enam pelajar mengeroyok seorang korban hingga tak berdaya. Kejadian ini menimbulkan luka serius dan trauma yang mendalam bagi korban, yang akhirnya menolak untuk kembali ke sekolah.
Penting untuk dicatat bahwa perundungan tidak hanya terjadi di tingkat sekolah menengah, tetapi juga merayap ke sekolah dasar. Di Gresik, seorang siswi kelas dua SD mengalami kebutaan permanen setelah dicolok matanya dengan tusuk bakso oleh kakak kelasnya. Tindakan kekerasan ini bukan hanya mencoreng nama baik sekolah, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis yang sangat buruk pada korban.
Tak ketinggalan pula kasus di Sukabumi, di mana seorang siswa kelas tiga SD mengalami patah tulang setelah dibully oleh dua teman sekelasnya. Meskipun kasus ini telah ditangani oleh pihak berwenang, namun trauma yang dirasakan oleh korban tetap menjadi beban berat bagi keluarganya.
Kasus terbaru yang menarik perhatian adalah perundungan yang terorganisir di Sekolah Binus Serpong. Dalam sebuah laporan, terungkap bahwa sebuah geng yang telah berlangsung selama sembilan generasi melakukan berbagai aktivitas negatif di belakang sekolah. Rekrutmen anggota baru dilakukan dengan cara yang menyimpang, termasuk melakukan kekerasan fisik dan pelecehan.
Deretan kasus ini menunjukkan bahwa perundungan di sekolah bukanlah masalah sepele yang bisa diabaikan. Tindakan kekerasan ini bukan hanya merusak fisik korban, tetapi juga meninggalkan bekas luka yang dalam pada psikis mereka. Langkah konkret dan tindakan preventif yang efektif sangat dibutuhkan untuk menghentikan spiral kekerasan ini. Keterlibatan semua pihak, baik itu pemerintah, sekolah, maupun masyarakat, menjadi kunci dalam memberikan perlindungan dan mendidik para generasi penerus agar menjadi individu yang berempati dan bertanggung jawab. Masyarakat pun semakin bersuara, menyerukan #StopBullydiSekolah sebagai langkah awal untuk memerangi kejahatan ini.
Baca juga: Masyarakat Bersatu dalam Damai: Seruan Harmoni Pasca Pemilihan Umum
Sumber: Beautynesia.