Wartajaya.com – Rezim Bashar al-Assad, yang selama lebih dari setengah abad menjadi simbol kekuasaan keluarga Assad di Suriah, runtuh dengan sangat cepat. Peristiwa ini mengejutkan dunia internasional, mengingat keteguhan rezim yang bertahan melalui berbagai konflik berdarah selama 13 tahun terakhir.
Kelompok pemberontak, yang sebelumnya terpojok di wilayah barat laut, melancarkan serangan yang tak terduga. Serangan ini berhasil merebut kota demi kota, hingga akhirnya pasukan oposisi memasuki Damaskus tanpa perlawanan berarti. Situasi ini menunjukkan lemahnya pertahanan pemerintah Assad, yang selama ini didukung oleh Iran dan Rusia.
Presiden Bashar al-Assad, yang mewarisi tampuk kekuasaan dari ayahnya, Hafez Assad, dikabarkan melarikan diri ke Moskow bersama keluarganya. Informasi ini disampaikan oleh media pemerintah Rusia. Pelarian ini mencerminkan runtuhnya kekuasaan yang dulu begitu kokoh, sekaligus menandai akhir dari era Assad yang penuh kontroversi.
Selama 24 tahun pemerintahannya, Assad dikenal dengan tangan besinya dalam menghadapi oposisi. Namun, dukungan dari sekutu utama seperti Rusia dan Iran kini tampak memudar. Konflik di Ukraina dan melemahnya milisi Hizbullah, yang sebelumnya menjadi tulang punggung kekuatan Assad, turut mempercepat kehancuran rezim ini.
Pergerakan kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) menjadi bukti lemahnya kontrol militer pemerintah Assad. Dalam hitungan hari, pemberontak berhasil merebut kota-kota penting seperti Aleppo, Hama, dan Homs. Bahkan, Damaskus—pusat pemerintahan Assad—kini berada di bawah ancaman pengepungan total.
HTS, meskipun dicap sebagai organisasi teroris oleh PBB dan Amerika Serikat, menunjukkan strategi yang efektif dalam menggulingkan kekuasaan Assad. Serangan yang awalnya disebut terbatas oleh Turki berkembang menjadi ofensif besar-besaran, mempermalukan pasukan pemerintah yang mundur tanpa perlawanan berarti.
Runtuhnya rezim Assad meninggalkan luka mendalam bagi Suriah. Perang saudara yang telah menewaskan lebih dari setengah juta orang ini menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam menangani protes damai yang bermula pada 2011. Konflik berkepanjangan juga memaksa lebih dari 11 juta warga Suriah mengungsi, meninggalkan negara yang kini berada di ambang kehancuran total.
Keberhasilan pemberontak dalam waktu singkat tidak hanya memalukan rezim Assad, tetapi juga sekutu-sekutunya. Rusia dan Iran, yang selama ini mengklaim mendukung stabilitas Suriah, justru terlihat absen dalam menghadapi situasi kritis ini.
Setelah jatuhnya Assad, Perdana Menteri Mohammed Ghazi Jalali menyatakan kesediaan pemerintah untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan transisi. Namun, jalan menuju stabilitas tetap penuh tantangan. Perseteruan antara kelompok pemberontak dan sisa-sisa loyalis Assad dapat memicu konflik baru, sementara masyarakat internasional mendesak pembentukan pemerintahan yang inklusif.
Jatuhnya rezim Assad menandai babak baru dalam sejarah Suriah, tetapi juga mengingatkan dunia akan mahalnya harga konflik dan kekuasaan otoriter. Dengan kekacauan yang masih berlangsung, masa depan Suriah tetap menjadi teka-teki yang sulit terpecahkan.