Baru rencana naikkan PPN, kritik langsung datang nih
Jakarta, CNBC Indonesia – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sudah menuai kritik.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, PPN seharusnya ditanggung pemerintah untuk mendorong geliat belanja di sektor ritel. Pasalnya, menurut data Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga pada Kuartal I-2021 masih berkontraksi atau -2,23% secara tahunan (year on year/yoy).
Daya beli yang masih rendah, kata Bhima juga ditunjukkan dari perkembangan sektor ritel yang menurun hingga -0,24% (yoy) pada Kuartal I-2021.
“Jika pemerintah tergesa-gesa menaikkan tarif PPN, ujungnya malah blunder ke pemulihan ekonomi. Sebaiknya pemerintah mulai dari evaluasi insentif perpajakan yang dampak ekonominya kecil atau lambat,” jelas Bhima kepada CNBC Indonesia, Rabu (5/5/2021).
Belanja pajak melalui stimulus pajak kepada dunia usaha yang digelontorkan hingga Rp 228 triliun pada 2020, menurut Bhima juga tidak berdampak signifikan terhadap perusahaan untuk bisa pulih.
Oleh karena itu, Bhima menilai pemerintah semestinya selektif dalam memberikan insentif pajak. Bahkan seharusnya pemerintah mengejar wajib pajak kelas kakap yang belum patuh meskipun sudah diberikan tax amnesty pada 2016 lalu.
“Data kan sudah banyak untuk dimulai penyidikan. Misalnya FinCen paper, sampai Panama Papers dan Automatic Exchange of Information. Di negara lain seperti AS, langkah meningkatkan sumber penerimaan pajak adalah naikan pajak progresif bagi wealthy individual atau orang super kaya,” jelas Bhima.
Director MUC Tax Research Institute Karsino dalam opininya kepada CNBC Indonesia mengatakan sampai saat ini belum jelas berapa besar rencana kenaikan tarif PPN. Yang jelas UU PPN memberikan diskresi ke pemerintah soal tarifnya.
“Apakah kenaikan tarif PPN menyasar semua jenis barang dan jasa? Itu juga masih samar. Namun, yang pasti Undang-Undang PPN memberikan diskresi bagi pemerintah untuk menyesuaikan tarif pajak menjadi paling rendah 5% hingga paling tinggi 15%. Karena narasi yang dibangun sejak awal kenaikan, maka tarif PPN berpotensi naik dari 10% menjadi hingga 15%,” kata Karsino.
Kebijakan tersebut, lanjut Karsino, melegakan buat bendahara negara yang tengah berupaya keras menambal defisit fiskal. Soal bakal ada kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan, itu konsekuensi dari kebijakan yang tidak bisa menyenangkan semua pihak.
“Defisit fiskal yang menembus 6% dari PDB-melampaui batas aman 3% PDB-memang menjadi perkara besar bagi penyelenggara negara. Krisis ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19 memaksa pemerintah melakukan kebijakan extraordinary yang ongkosnya sangat-sangat mahal.”
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya di acara Musrenbangnas 2021 secara virtual pada Selasa (4/5/2021). Dalam paparannya itu, tertulis bahwa pihaknya berencana untuk menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Kendati demikian belum jelas berapa besar rencana kenaikan tarif PPN tersebut. Juga belum ada informasi, apakah PPN yang akan dinaikkan tersebut akan menyasar sektor barang atau jasa.
“Dari sisi perpajakan atau pendapatan negara yaitu bagaimana menggali potensi dan peningkatan tax rasio perluasan basis pajak terutama dengan adanya era digital ekonomi dan e-commerce. Kita juga akan melaksanakan cukai plastik dan tarif PPN yang akan dibahas di dalam undang-undang ke depan,” jelas Sri Mulyani dikutip Rabu (5/5/2021).
(dru)