NASIONAL

Mahasiswa Papua di Yogya kritik pelabelan teroris ke KKB

Pemerintah pusat telah memutuskan untuk memasukkan kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan di Papua sebagai teroris. Mahasiswa Papua di Yogyakarta merasa pelabelan itu berdampak pada mereka.

Mahasiswa asal Kabupaten Puncak, Papua, yang menempuh pendidikan di Yogya risau dengan perkembangan yang terjadi. Nikel Tabuni, salah satu dari mahasiswa itu mengatakan kepada VOA, eskalasi kekerasan di Puncak semakin mengkhawatirkan. Di sisi lain, sebagai perantau, mereka juga mengaku menerima dampak keputusan pemerintah memberi label teroris kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), termasuk Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Mereka ingin, keputusan itu ditinjau ulang.

Nikel Tabuni, tim kemanusiaan Mahasiswa Puncak di Yogyakarta.
Nikel Tabuni, tim kemanusiaan Mahasiswa Puncak di Yogyakarta.

“Kami menginginkan agar pemerintah pusat meninjau kembali, pelabelan kepada orang asli Papua sebagai teroris. Karena menurut kami ini akan berdampak pada seluruh orang asli Papua, tidak hanya kelompok TPNPB, tetapi bagi kami yang hidup di perantauan,” kata Nikel.

Pintu Masuk Militer

Pelabelan teroris itu diikuti oleh masuknya pasukan TNI-Polri dalam jumlah besar ke Kabupaten Puncak. Kabar dari keluarga di Puncak yang diterima Nikel menyebut, sejak 27 April aparat keamanan terus melakukan penyisiran melalui udara maupun darat. Peningkatan aktivitas pengamanan itu telah menyebabkan ribuan warga terpaksa mengungsi.

“Menurut kami, mahasiswa Puncak, pelabelan itu hanya kendaraan yang mengantarkan pemerintah pusat untuk terus melakukan pengejaran dan di dalamnya banyak korban masyarakat sipil,” tambah Nikel yang juga tim kemanusiaan, keluarga mahasiswa Puncak di Yogyakarta.

Nikel menceritakan, keluarganya dan para tetangga yang menjadi satu jamaah gereja, memutuskan untuk meninggalkan kampung Maki. Mereka menumpang di rumah-rumah saudara, yang lokasinya cukup jauh dengan pusat konflik. Sejauh ini, tidak ada upaya pemerintah daerah untuk membantu para pengungsi itu.

“Sekarang pengungsi masih datang ke kerabat, sanak saudara lain di kampung seberang. Kami sangat prihatin, dan kami juga tidak bisa kuliah tenang karena orang tua kami di sana seperti itu.

Saat ini , terus menerus ada pengedropan TNI-Polri di sana,” ujar Nikel.

Nikel juga menambahkan, mahasiswa Puncak se-Indonesia meminta pemerintah pusat menghentikan pengerahan pasukan yang berlebihan. Jumlah aparat yang melebihi kapasitas, akan menyebabkan konflik berkepanjangan dan mengancam masyarkaat sipil. Selain itu, untuk menjamin pemberitaan yang lebih sesuai, para mahasiswa juga meminta pemerintah pusat membuka akses media baik nasional maupun internasional.

Mahasiswa Papua dari Jakarta, Tangerang dan Bogor menggelar unjuk rasa di depan istana presiden, Kamis, 22 Agustus 2019. (Foto: VOA / Fathiyah)
Mahasiswa Papua dari Jakarta, Tangerang dan Bogor menggelar unjuk rasa di depan istana presiden, Kamis, 22 Agustus 2019. (Foto: VOA / Fathiyah)

Para mahasiswa juga meminta pemerintah daerah di Papua, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga kemanusiaan lain, untuk segera melakukan evakuasi pengungsi. Tindakan serupa tidak hanya dibutuhkan di Puncak, tetapi juga Kabupaten Nduga dan Intan Jaya.

Pelabelan Dikritik

Pemerintah, malalui Menko Polhukam Moh Mahfud MD memang telah memberikan label teroris kepada KKB Papua. Dalam keterangan resmi pada 29 April 2021 lalu, Mahfud menegaskan, pelabelan itu didasarkan pada masifnya pembunuhan dan kekerasan yang mereka lakukan.

“Sejalan dengan itu semua, dengan pernyataan-pernyataan mereka itu maka pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teoris,” kata Mahfud dalam konferensi pers daring.

Di laman resminya, Pemerintah Provinsi Papua telah meminta pemerintah pusat melakukan kajian ulang penyematan label teroris bagi KKB di Papua. Gubernur Papua beranggapan sikap pemerintah semestinya komprehensif dan memperhatikan dampak sosial, ekonomi serta hukum bagi warga Papua secara umum. Pemerintah Provinsi Papua, mengakui, tindakan KKB meresahkan, melanggar hukum serta menciderai prinsip-prinsip dasar HAM.

“Hanya saja, terorisme dinilai sebagai konsep yang masih diperdebatkan dalam ruang lingkup hukum dan politik. Sehingga penetapan KKB sebagai kelompok teroris, dinilai perlu untuk ditinjau dengan seksama dan memastikan obyektifitas negara dalam pemberian status tersebut,” kata juru bicara Gubernur Papua, Muhammad Rivai Darus, dalam keterangan resminya.

Pemberian label teroris kepada KKB, menurut Pemda Papua, akan memberi dampak psikososial bagi warga Papua di perantauan. Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru bagi mereka.

Mahasiswa Papua dari Jakarta, Tangerang dan Bogor menggelar unjuk rasa di depan istana presiden, Kamis, 22 Agustus 2019. (Foto: VOA/Fathiyah)
Mahasiswa Papua dari Jakarta, Tangerang dan Bogor menggelar unjuk rasa di depan istana presiden, Kamis, 22 Agustus 2019. (Foto: VOA/Fathiyah)

Dialog dengan KKB

Tidak sekedar melepas label teroris, aktivis Papua, Samuel Awom kepada VOA bahkan mendesak pemerintah pusat untuk membuka dialog. Langkah ini penting dilakukan, bukan kepada elit daerah di Papua, tetapi bersama kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan secara politik.

“Kelompok-kelompok yang hari ini menentang atau mengkritisi kebijakan pemerintah yang selama ini salah. Apa kata kuncinya? Berunding, berdialog. Karena berunding dan berdialog itu cara yang paling dihargai oleh mekanisme internasional untuk menyelesaikan konflik,” kata Samuel yang juga juru bicara Petisi Rakyat Papua (PRP).

Kelompok yang disebut Samuel, termasuk di dalamnya adalah TPNPB dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua Barat. Dia menegaskan, mulai dari Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP ), pihak gereja, tokoh intelektual Papua hingga lembaga kemanusiaan memiliki pendapat yang sama terkait masalah Papua. Dialog diyakini menjadi jalan keluar, dan karena itu pemerintah pusat harus menemukan format pembicaraan yang tepat.

“Kalau semua orang bicara rekonsiliasi dan perdamaian yang betul-betul, kepercayaan itu akan terbangun. Ini tugas kita, rakyat Papua, media maupun siapa saja, yang mau bicara tentang perdamaian,” tambah Samuel.

Dia memahami jalan perdamaian mungki panjang, seperti yang bisa dipelajari dari konflik Aceh. Karena itu, rasa saling percaya perlu dibangun sepanjang proses dialog berlangsung. Papua, kata Samuel harus percaya pada Jakarta begitupun sebaliknya.

Presiden Jokowi diharapkan mau mendengar masukan positif dari lembaga kemanusiaan, lembaga agama dan dunia internasional menyangkut esensi perdamaian.

“Kalau Jokowi hanya mendengar lingkarannya yang cuma ingin ada operasi militer, yang melihat penyelesaian masalah Papua dalam rangka militerisasi atau membangun konflik baru, maka situasi Papua akan semakin buruk,” pungkas Samuel. [ns/ab]

Related Articles

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button