
Wartajaya.com – Duka mendalam menyelimuti keluarga korban ambruknya gedung Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Salah satunya dirasakan Fauzi (48), warga Depok, yang kehilangan empat keponakannya dalam insiden tragis tersebut. Meski berusaha ikhlas, Fauzi menegaskan bahwa musibah ini tidak boleh berhenti pada belasungkawa semata, melainkan harus diusut hingga tuntas.
Ia menilai, jika terdapat unsur kelalaian manusia dalam pembangunan gedung bertingkat itu, maka pihak yang bertanggung jawab wajib diproses hukum. “Kalau memang ada human error, harus ada tindakan hukum. Semua orang sama di hadapan hukum,” ujarnya dengan nada tegas.
Empat keponakan Fauzi yang meninggal dunia masih berusia 16–17 tahun. Saat kejadian, mereka berada di saf tengah musala yang roboh saat pelaksanaan salat Ashar berjemaah, Senin (29/9). Sementara anak kandungnya, TM, yang berada di saf depan dekat imam, berhasil selamat.
Fauzi menduga konstruksi bangunan pesantren tersebut tidak memenuhi standar keamanan. Berdasarkan pengamatan ahli yang ia konsultasikan, struktur bangunan dinilai rapuh dan tidak layak untuk pembangunan bertingkat. Ia juga menyoroti dugaan keterlibatan santri dalam proses pembangunan. Menurutnya, hal itu bisa termasuk eksploitasi anak dan seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum.
“Kalau memang santri ikut dipekerjakan saat pembangunan, itu sudah tidak wajar. Harus ada pemeriksaan lebih lanjut,” tambahnya.
Fauzi meminta agar proses hukum berjalan transparan tanpa pandang bulu. Ia menegaskan, status sosial seseorang, termasuk kiai atau pengasuh pesantren, tidak boleh menjadi alasan untuk menghindari tanggung jawab. “Jangan sampai hukum kalah oleh status sosial. Kalau ada unsur kelalaian, harus ditindak,” tegasnya.
Meski demikian, Fauzi tetap menerima kejadian ini sebagai bagian dari takdir. Namun ia menekankan bahwa ikhlas tidak berarti mengabaikan penegakan hukum. “Kita percaya ini takdir, tapi kalau ada kelalaian, tetap harus diselesaikan secara hukum. Ini demi keamanan santri di masa depan,” ujarnya.
Sementara itu, sebagian wali santri memilih untuk tidak melanjutkan tuntutan karena alasan budaya menghormati kiai. Fauzi mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawal proses hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Saat ini, ia dan keluarga masih menunggu proses identifikasi jenazah keempat keponakannya di RS Bhayangkara Polda Jatim, Surabaya.
Di sisi lain, keluarga korban lainnya, Muhammad Ma’ruf (50), menyatakan pasrah dan menganggap kejadian ini sebagai takdir Tuhan. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pihak pesantren dan berdoa agar musibah tersebut diganti dengan kebaikan yang lebih besar.
Pengasuh Ponpes Al Khoziny, KH Abdus Salam Mujib, juga menyampaikan bahwa peristiwa ini adalah ujian dari Tuhan dan meminta semua pihak untuk bersabar. Ia berharap para korban mendapatkan pahala dan balasan terbaik atas cobaan yang dialami.
Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Nanang Avianto, memastikan pihaknya akan menindaklanjuti kasus ini secara hukum setelah seluruh proses evakuasi korban selesai. Polisi telah mengumpulkan berbagai bukti dan dokumentasi terkait dugaan kegagalan konstruksi gedung. “Kami akan menelusuri penyebab secara ilmiah dengan melibatkan para ahli konstruksi,” ujarnya saat meninjau lokasi kejadian.
Tragedi ini menelan korban sebanyak 171 orang, terdiri dari 104 selamat dan 67 meninggal dunia, termasuk delapan bagian tubuh yang berhasil ditemukan. Peristiwa tersebut terjadi ketika ratusan santri tengah melaksanakan salat berjemaah di gedung yang ternyata masih dalam tahap pembangunan.
Polisi kini tengah memeriksa struktur bangunan dari lantai dasar hingga atap untuk memastikan penyebab utama ambruknya gedung tersebut. Proses penyelidikan akan berlanjut hingga tuntas guna memastikan tidak ada kelalaian yang luput dari hukum.