NASIONAL

Banjir Besar Terjang Bali, 16 Warga Meninggal Dunia dan Ratusan Mengungsi

Wartajaya.com – Banjir besar melanda sejumlah wilayah di Provinsi Bali pada Rabu (10/9) setelah hujan deras mengguyur kawasan tersebut. Hingga Kamis (11/9), proses evakuasi dan penanganan pascabencana masih berlangsung dengan melibatkan aparat, relawan, serta masyarakat setempat.

Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan jumlah korban meninggal dunia mencapai 16 orang. Jumlah tersebut meningkat dari laporan sebelumnya yang mencatat 14 orang tewas. Sementara itu, satu korban masih dinyatakan hilang. Korban meninggal tersebar di Kota Denpasar, Kabupaten Jembrana, Gianyar, dan Badung.

Selain menimbulkan korban jiwa, banjir juga memaksa 562 warga mengungsi. Ratusan pengungsi itu ditempatkan di fasilitas umum seperti balai desa, sekolah, musala, dan banjar yang dijadikan pos darurat. Kabupaten Jembrana dan Kota Denpasar menjadi wilayah dengan jumlah pengungsi terbanyak.

Bencana ini tercatat berdampak di tujuh kabupaten/kota di Bali. BNPB melaporkan ada 120 titik banjir, dengan rincian 81 titik di Kota Denpasar, 14 titik di Gianyar, 12 titik di Badung, delapan titik di Tabanan, serta masing-masing empat titik di Jembrana dan Karangasem. Di Klungkung, banjir terpusat di Kecamatan Dawan. Selain itu, tanah longsor juga terjadi di beberapa lokasi, termasuk Karangasem, Gianyar, dan Badung.

Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan status tanggap darurat selama satu pekan. Keputusan ini diambil setelah melalui koordinasi antara pemerintah daerah dengan BNPB. Status darurat tersebut memungkinkan mobilisasi sumber daya dan percepatan penanganan di lapangan, termasuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.

Di sisi lain, banjir besar yang melanda Bali memunculkan perdebatan soal penyebab utama. Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan bencana tersebut bukan akibat alih fungsi lahan, melainkan karena kondisi aliran sungai. Ia menyebut alih fungsi lahan hanya terjadi di sebagian kawasan Kabupaten Badung dan Gianyar, bukan di Denpasar yang menjadi salah satu wilayah terdampak parah.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali. Lembaga itu menyebut alih fungsi lahan di Kota Denpasar nyata terjadi, bahkan mencapai lebih dari 780 hektare dalam kurun waktu 2018 hingga 2023. Walhi menilai perubahan fungsi lahan, terutama dari sawah menjadi bangunan, telah mengurangi kemampuan lingkungan dalam menahan air, sekaligus memperlemah sistem irigasi tradisional Bali, yaitu subak.

Subak yang selama ini berfungsi mengatur aliran air dianggap berperan penting dalam menjaga keseimbangan hidrologis. Menurut Walhi, menyusutnya lahan pertanian menyebabkan sistem ini kehilangan fungsi optimal, sehingga meningkatkan risiko banjir ketika curah hujan ekstrem melanda.

Polemik mengenai alih fungsi lahan menambah dimensi baru dalam diskusi penanganan bencana di Bali. Sebagian pihak menilai persoalan tata ruang harus menjadi perhatian serius pemerintah, di samping upaya pemulihan pascabanjir.

Saat ini, fokus utama pemerintah daerah bersama BNPB adalah memastikan proses evakuasi, bantuan logistik, serta perbaikan infrastruktur darurat berjalan lancar. Meski status tanggap darurat hanya berlaku selama sepekan, proses rehabilitasi jangka panjang dipastikan akan terus berlanjut hingga kondisi benar-benar pulih.

Peristiwa banjir besar ini sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang berkelanjutan. Dengan curah hujan tinggi yang kerap terjadi, Bali memerlukan langkah pencegahan komprehensif agar bencana serupa tidak kembali terulang dengan dampak yang lebih besar.

Related Articles

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button