
Wartajaya.com – Bareskrim Polri mengamankan tujuh orang tersangka yang diduga terlibat dalam aksi provokasi berujung kerusuhan dan penjarahan di sejumlah rumah pejabat negara. Salah satu dari mereka adalah pria berinisial IS, pemilik akun media sosial TikTok dengan nama pengguna @hs02775.
Penangkapan dilakukan setelah aparat menemukan adanya ajakan melalui media sosial yang memicu massa melakukan aksi anarkis. Rumah beberapa tokoh publik, seperti Ketua DPR Puan Maharani, Anggota DPR Ahmad Sahroni, anggota dewan sekaligus artis Eko Patrio, serta publik figur Uya Kuya, disebut menjadi sasaran dalam ajakan tersebut.
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menyebutkan, modus yang dilakukan para tersangka adalah dengan menyebarkan unggahan berisi ajakan untuk menggerakkan massa melakukan aksi penjarahan. Visualisasi unggahan akun TikTok IS memperlihatkan narasi provokatif yang diduga memengaruhi opini publik dan mendorong tindakan melawan hukum.
IS diketahui merupakan karyawan swasta berusia 39 tahun. Sejak 2 September 2025, ia ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri. Meski menggunakan akun anonim, aktivitasnya di media sosial terdeteksi sebagai salah satu pemicu eskalasi situasi. Akun TikTok yang dikelola IS tercatat memiliki lebih dari dua ribu pengikut.
Pihak kepolisian menegaskan bahwa setiap individu yang terbukti menggunakan media sosial untuk menghasut masyarakat akan diproses hukum. Dalam kasus ini, IS dijerat dengan Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, ia juga dikenakan Pasal 160 KUHP dengan ancaman pidana enam tahun penjara, serta Pasal 161 ayat (1) KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Penangkapan para tersangka ini menjadi peringatan bagi masyarakat agar lebih bijak menggunakan media sosial. Aparat menilai, penyalahgunaan platform digital untuk menyebarkan provokasi berpotensi menimbulkan keresahan luas, bahkan memicu tindakan kriminal seperti yang baru saja terjadi.
Di sisi lain, sejumlah pihak menilai insiden ini menunjukkan kerentanan masyarakat terhadap pengaruh informasi yang tidak diverifikasi. Aksi massa yang berkembang dari unjuk rasa menjadi kerusuhan dan penjarahan dianggap sebagai dampak nyata dari penyebaran konten provokatif.
Bareskrim Polri menegaskan akan terus memantau aktivitas digital yang berpotensi melanggar hukum. Penindakan tegas disebut sebagai langkah untuk menjaga stabilitas keamanan, sekaligus melindungi masyarakat dari dampak buruk disinformasi maupun hasutan di dunia maya.
Kasus ini menjadi catatan penting mengenai bagaimana media sosial bisa menjadi alat penggerak massa jika digunakan secara tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, aparat mendorong masyarakat agar lebih kritis dalam menerima informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh unggahan yang bersifat menghasut.
Dengan penangkapan tujuh tersangka, kepolisian berharap situasi dapat kembali kondusif serta menjadi pelajaran bahwa setiap penyalahgunaan media sosial memiliki konsekuensi hukum yang tegas.