
Wartajaya.com – Isu mengenai pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut guru sebagai beban negara ramai diperbincangkan publik. Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa dirinya tidak pernah melontarkan pernyataan tersebut. Ia menyebut video yang beredar di media sosial merupakan hasil rekayasa teknologi kecerdasan buatan atau deepfake dan potongan pidato yang tidak utuh.
Kontroversi itu bermula dari video yang viral menampilkan Sri Mulyani sedang berpidato. Dalam potongan rekaman, ia disebut menyebut guru sebagai beban negara. Unggahan itu langsung menuai kritik dari masyarakat, terutama kalangan tenaga pendidik, yang menilai ucapan tersebut tidak pantas keluar dari seorang pejabat negara.
Menanggapi hal tersebut, Sri Mulyani menyampaikan klarifikasi melalui akun Instagram pribadinya. Ia menjelaskan bahwa video yang beredar adalah hasil manipulasi teknologi dan tidak menggambarkan isi sebenarnya dari pidatonya di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 7 Agustus lalu.
“Faktanya, saya tidak pernah menyatakan bahwa guru adalah beban negara. Video tersebut adalah hasil deepfake dan potongan tidak utuh dari pidato saya,” ujar Sri Mulyani dalam unggahannya pada Selasa (19/8) malam.
Dalam pidato aslinya, Sri Mulyani menyinggung tentang tantangan keuangan negara, salah satunya terkait penghargaan terhadap profesi guru dan dosen. Ia menekankan bahwa masih banyak pendidik yang merasa penghasilannya belum setara dengan tanggung jawab yang diemban. Namun, pernyataan itu kemudian dipelintir seolah-olah ia menyebut guru sebagai beban negara.
Fenomena deepfake yang menimpa Sri Mulyani menjadi sorotan tersendiri. Teknologi ini menggunakan algoritma pembelajaran mendalam (deep learning) untuk membuat video atau audio seolah nyata, padahal rekaman tersebut tidak pernah terjadi. Dengan kemampuan meniru wajah maupun suara, deepfake sering dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi palsu.
Para pakar menyebut, deepfake berpotensi menimbulkan kerugian besar, terutama ketika diarahkan pada isu-isu politik atau kebijakan publik. Konten semacam itu dapat memicu kesalahpahaman, merusak reputasi seseorang, hingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Istilah deepfake sendiri muncul pada 2017 ketika pertama kali digunakan dalam sebuah forum daring. Sejak saat itu, teknologi ini berkembang pesat dan semakin sulit dibedakan dengan konten asli. Bahkan, proses pembuatannya melibatkan dua algoritma berbeda, di mana satu berfungsi menghasilkan replika sementara algoritma lain bertugas mendeteksi keaslian konten.
Kasus yang menimpa Sri Mulyani menjadi contoh nyata bahaya dari penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan. Masyarakat diimbau untuk lebih bijak dalam menerima informasi, terutama yang beredar di media sosial tanpa sumber yang jelas. Kehadiran deepfake menunjukkan bahwa literasi digital sangat penting untuk mencegah publik terjebak dalam berita bohong.
Dengan klarifikasi ini, Sri Mulyani berharap isu mengenai pernyataannya bisa diluruskan. Ia menekankan kembali bahwa guru bukanlah beban negara, melainkan pilar penting dalam mencerdaskan generasi bangsa.