Netanyahu Pecat Menhan Yoav Gallant, Protes Memanas di Israel
Wartajaya.com – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengejutkan publik dengan keputusan mendadak memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Gallant, yang dikenal sebagai figur moderat dalam kabinet Netanyahu, dianggap oleh banyak pihak sebagai penyeimbang dari unsur sayap kanan dalam pemerintahan koalisi Israel yang semakin keras. Pemecatan ini diumumkan melalui pernyataan video Netanyahu pada Selasa (5/11/2024) malam waktu setempat, yang mengungkapkan adanya “perbedaan signifikan dalam menangani pertempuran” di Gaza.
Dalam pernyataannya, Netanyahu mengatakan, “Dalam situasi perang, diperlukan kepercayaan penuh antara perdana menteri dan menteri pertahanan… Dalam beberapa bulan terakhir, kepercayaan antara saya dan menteri pertahanan telah rusak,” seperti yang dilaporkan oleh The Guardian. Keputusan ini memicu kecaman luas dan protes besar-besaran di seluruh Israel, dengan ribuan orang turun ke jalan sebagai bentuk ketidakpuasan atas keputusan tersebut.
Sebagai langkah cepat untuk mengisi kekosongan tersebut, Netanyahu menunjuk Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, dari partai Likud, untuk menggantikan posisi Gallant. Sementara itu, Gideon Saar, pemimpin partai New Hope, akan mengisi posisi yang ditinggalkan Katz. Katz menyampaikan di platform X bahwa mereka akan bekerja sama “untuk membawa sistem keamanan menuju kemenangan melawan musuh dan mencapai tujuan perang, termasuk pembebasan sandera, penghancuran Hamas, dan perlindungan wilayah perbatasan.”
Pengumuman tersebut memicu protes besar-besaran di Tel Aviv dan Yerusalem. Ribuan demonstran berkumpul di Tel Aviv, memblokir jalan utama sebagai bentuk protes. Di Yerusalem, sekitar 1.000 orang berkumpul di luar kediaman Netanyahu, menunjukkan ketidakpuasan mereka. Gelombang protes ini juga terlihat di berbagai kota lain di Israel, mencerminkan ketegangan yang meluas di kalangan masyarakat.
Gallant, yang telah lama berbeda pendapat dengan Netanyahu, menjadi sorotan publik karena posisinya yang menentang reformasi yudisial yang diusulkan oleh pemerintahan Netanyahu sejak pembentukan koalisi pada akhir 2022. Reformasi ini dianggap mengancam independensi lembaga peradilan Israel dan menjadi topik kontroversial di tengah masyarakat. Gallant juga dikenal sebagai satu-satunya pejabat senior dalam pemerintahan yang terang-terangan menyuarakan penentangan terhadap reformasi ini, yang memicu ketegangan dalam kabinet.
Baca juga: Presiden Prabowo Dorong Penggunaan Maung sebagai Kendaraan Dinas Pejabat
Keputusan Netanyahu untuk memecat Yoav Gallant juga dinilai terkait dengan usulan Gallant mengenai wajib militer bagi komunitas Ultra-Ortodoks, sebuah kebijakan yang ditentang keras oleh partai-partai Ultra-Ortodoks yang merupakan sekutu politik lama Netanyahu. Gallant menyatakan bahwa pandangannya mengenai wajib militer bagi komunitas ini, perlunya tindakan diplomatik di Gaza, serta upaya pemulangan sandera menjadi pemicu ketidaksepahaman yang memanas antara dirinya dan Netanyahu.
Respon dari komunitas internasional segera muncul menyusul pengumuman pemecatan ini. Gedung Putih menyatakan penghargaan terhadap Gallant sebagai “mitra penting” dan mengonfirmasi bahwa Amerika Serikat akan “terus bekerja sama dengan Menteri Pertahanan Israel yang baru.” Dukungan dari AS mencerminkan pentingnya hubungan militer dan diplomatik antara kedua negara di tengah konflik yang sedang berlangsung di Timur Tengah.
Yoav Gallant, yang dikenal sebagai mantan jenderal militer, dalam pernyataan terakhirnya di platform X menyebut bahwa “keamanan negara Israel akan selalu menjadi misi hidup saya.” Sebagai salah satu tokoh militer yang disegani, Gallant telah lama menjadi simbol stabilitas bagi sebagian masyarakat Israel dan internasional. Pemecatannya oleh Netanyahu semakin memperlihatkan perpecahan dalam pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Netanyahu, yang kini semakin condong ke arah kebijakan garis keras.
Keputusan ini, selain memicu protes publik, juga menambah ketegangan internal di dalam pemerintahan Israel. Pergeseran kabinet ini membawa pertanyaan serius tentang masa depan koalisi Netanyahu dan arah kebijakan Israel dalam menghadapi konflik yang semakin kompleks di Gaza dan kawasan sekitarnya.