Wartajaya.com – Gorontalo kembali menjadi sorotan setelah munculnya kasus kekerasan seksual anak yang melibatkan seorang guru dan muridnya. Video asusila yang beredar luas di media sosial mencerminkan kelalaian dalam menjaga keamanan dan perlindungan anak, khususnya dalam lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi para siswa. Kepala Polres Gorontalo, Ajun Komisaris Besar Deddy Herman, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima laporan terkait kasus ini dengan nomor: LP/B/199/IX/2024/SPKT/Polres Gorontalo/Polda Gorontalo, pada 23 September 2024.
Dalam keterangannya pada 25 September 2024, Deddy menegaskan, “Terkait kasus viral di media sosial, bahwa benar kami dari Polres Gorontalo telah menerima laporan dari paman/orang tua/wali dari korban.” Namun, pernyataan ini justru menyoroti bagaimana kasus yang sudah menyebar luas di media sosial baru ditindaklanjuti setelah mendapatkan tekanan publik. Kecepatan respons dari pihak berwenang dalam menangani kasus ini pun patut dipertanyakan, mengingat dampak psikologis yang dialami korban anak akibat penyebaran video yang tidak beretika tersebut.
Kasus ini kembali membuka luka lama terkait lemahnya perlindungan anak di Indonesia, khususnya di Gorontalo. Menurut Deddy, pihaknya telah menetapkan DH, guru yang terlibat dalam hubungan asusila tersebut, sebagai tersangka dan sudah menahannya. DH dijerat dengan pasal 81 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, bagaimana bisa seorang guru yang seharusnya menjadi sosok pelindung dan pendidik justru terlibat dalam kejahatan yang menghancurkan masa depan anak?
Selain itu, pengawasan yang longgar terhadap lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para siswa, menjadi salah satu faktor yang memperparah situasi ini. Mengapa tidak ada upaya pencegahan dini yang dilakukan? Apakah tidak ada mekanisme untuk melindungi siswa dari potensi kekerasan seksual, apalagi oleh seseorang yang dipercaya dalam sistem pendidikan?
Dalam proses penyelidikan, polisi telah memeriksa delapan saksi serta pelapor dan terlapor. Berdasarkan hasil pemeriksaan, hubungan antara korban dan tersangka telah dimulai sejak awal 2022 dan berkembang menjadi hubungan asmara pada September tahun tersebut. Peristiwa pertama kali terjadi pada Januari 2024, dan terus berlanjut hingga bulan ini di salah satu rumah teman korban di wilayah Kecamatan Limboto Barat. Namun, fakta yang terungkap bahwa kejadian ini direkam tanpa sepengetahuan korban dan tersangka oleh teman korban, menambah kerumitan kasus ini.
Baca juga: Kotak Snack PON XXI Aceh-Sumut Ditolak Atlet, Hanya Roti dan Santan Kemasan!
Keterlambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual anak seperti ini hanya memperparah trauma yang dialami korban. Lebih parah lagi, video yang direkam tanpa izin tersebut kini beredar luas di media sosial, merusak reputasi dan masa depan korban. Padahal, Deddy dalam pernyataannya dengan jelas mengimbau masyarakat untuk tidak menyebarkan video tersebut. “Demi melindungi masa depan korban anak, kami meminta masyarakat menghentikan penyebaran video ini,” ujar Deddy.
Namun, seruan ini datang terlambat. Dampak dari penyebaran video tersebut tidak hanya mengancam korban secara psikologis tetapi juga mengungkapkan kelemahan dalam regulasi yang seharusnya mencegah konten semacam ini menyebar dengan cepat di dunia maya.
Meskipun Deddy menyebutkan bahwa Polres Gorontalo melalui Direktorat Cyber bekerja sama dengan Kominfo sedang berupaya menghapus video yang beredar, langkah ini terkesan lambat dan setengah hati. Kenyataan bahwa video tersebut sudah tersebar secara luas menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dan kontrol atas konten digital yang merusak. Banyak pihak merasa bahwa reaksi aparat dan instansi terkait hanya menjadi respons setelah tekanan publik mengemuka, bukan tindakan preventif yang terencana dengan baik.
“Sejak awal kami menyampaikan bahwa kasus ini melibatkan anak di bawah umur, sehingga kami berkomitmen menangani kasus ini dengan serius,” kata Deddy. Namun, seriuskah penanganan ini jika penyebaran video dan trauma yang dialami korban sudah begitu dalam? Tindakan yang lebih cepat dan proaktif seharusnya diambil, mengingat kerentanan korban yang masih di bawah umur dan efek jangka panjang yang mungkin terjadi akibat kasus ini.
Kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak ini juga memberikan cerminan buram terhadap sistem hukum yang seharusnya melindungi korban secara lebih efektif. Meskipun tersangka telah ditahan dan dijerat dengan undang-undang yang relevan, banyak yang mempertanyakan apakah hukuman yang akan dijatuhkan nantinya bisa memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual lainnya. Lebih penting lagi, masyarakat membutuhkan jaminan bahwa sistem pendidikan dan hukum mampu memberikan perlindungan yang layak bagi anak-anak.
Sumber: Tempo.