Hot NewsNASIONAL

Mantan Karo Paminal Polri Hendra Kurniawan Bebas Bersyarat Meski Terbukti Menghalangi Keadilan

Wartajaya.com – Kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM yang memberikan hak pembebasan bersyarat kepada mantan Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Hendra Kurniawan, memicu kontroversi dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Keputusan yang diambil pada Jumat (2/8/2024) tersebut dianggap mencederai rasa keadilan publik.

Hendra Kurniawan adalah terpidana kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat, lebih dikenal dengan Brigadir J. “Yang bersangkutan telah mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) pada tanggal 2 Juli 2024,” ungkap Kepala Bagian Humas dan Protokoler Ditjen Pemasyarakatan, Deddy Eduar Eka Saputra, pada Senin (5/8/2024).

Meskipun telah keluar dari penjara, Hendra Kurniawan tetap diwajibkan mengikuti bimbingan Badan Pemasyarakatan Klas I Jakarta Selatan selama dua tahun. “Pembimbingan di bawah pengawasan Bapas Kelas I Jakarta Selatan hingga 8 Juli 2026,” tambah Eduar. Namun, banyak pihak menilai keputusan ini tidak memadai untuk mempertanggungjawabkan tindakan Hendra yang telah mengganggu proses hukum dalam kasus yang melibatkan nyawa.

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta sebelumnya menguatkan putusan tiga tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap Hendra. “Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 27 Februari 2022 nomor 802/Pid.Sus/2022/PN JKT.SEL yang dimohonkan banding tersebut,” kata Ketua Majelis Hakim Nelson Pasaribu dalam persidangan di PT DKI Jakarta, Rabu 10 Mei 2023.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan, Hendra Kurniawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum yang mengakibatkan terganggunya sistem elektronik atau mengakibatkan sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya secara bersama-sama. Hakim sependapat dengan PN Jakarta Selatan bahwa mantan Brigadir Jenderal Polisi itu telah melanggar Pasal 33 Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga: Pembukaan Olimpiade Paris: Keindahan Terkalahkan oleh Kekacauan #IndonesiaOlimpiadeParis

Selain Hendra Kurniawan, lima anak buah mantan Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri Ferdy Sambo lainnya juga terjerat dalam perkara perintangan penyidikan ini. Mereka adalah Agus Nurpatria, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, Arif Rahman Arifin, dan AKP Irfan Widyanto. Agus Nurpatria divonis dua tahun penjara, Baiquni dan Chuck Putranto masing-masing satu tahun penjara, sementara Irfan Widyanto dan Arif Rachman divonis 10 bulan penjara. Hanya Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria yang mengajukan banding; empat terdakwa lainnya tidak mengajukan banding.

Kasus ini melibatkan perusakan barang bukti elektronik berupa DVR CCTV atas perintah Ferdy Sambo terkait pembunuhan berencana Brigadir J. Sambo sendiri divonis pidana seumur hidup atas perbuatannya, termasuk perintangan penyidikan dalam perkara yang sama.

Kritik keras datang dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia dan pengamat hukum, yang menilai pembebasan bersyarat ini sebagai bentuk kompromi terhadap hukum dan keadilan. “Pembebasan bersyarat untuk Hendra Kurniawan ini mencederai rasa keadilan. Bagaimana mungkin seorang terpidana obstruction of justice bisa dengan mudah mendapatkan kebebasan bersyarat?” ujar Zainal Arifin, pengamat hukum dari Universitas Indonesia.

Menurut Zainal, kasus ini menunjukkan bahwa ada kekuatan besar di balik layar yang mampu mempengaruhi keputusan hukum. “Kasus ini bukan sekedar tentang hukum, tapi tentang kekuatan dan pengaruh. Publik harus sadar bahwa ada yang tidak beres dalam sistem kita,” tegasnya.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga mengecam keputusan ini. “Keputusan memberikan pembebasan bersyarat kepada Hendra Kurniawan menunjukkan bahwa hukum kita masih tumpul ke atas. Kami mendesak agar kebijakan ini ditinjau kembali,” kata Maria Ulfa, Ketua YLBHI.

Masyarakat juga menilai bahwa keputusan ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Banyak yang merasa bahwa keadilan belum benar-benar ditegakkan, dan keputusan ini hanya mempertegas bahwa hukum masih bisa diatur oleh mereka yang memiliki kekuasaan.

Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini menambah panjang daftar kontroversi yang melibatkan penegak hukum di Indonesia. Publik berharap bahwa ada perubahan signifikan dalam penegakan hukum dan agar kasus-kasus seperti ini tidak lagi terjadi di masa depan.

Kritik yang muncul ini seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah dan aparat penegak hukum. Jika keadilan terus menerus diabaikan, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan semakin terkikis. Semoga ke depan, penegakan hukum di Indonesia bisa lebih baik dan benar-benar berpihak pada keadilan.

Sumber: Kompas.

Related Articles

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button