Pemeriksaan Etik Polisi Tebet, Bukti Lemahnya Penanganan Laporan Pelecehan Seksual di KRL
Wartajaya.com – Isu pelanggaran kode etik oleh lima personel Polsek Tebet kini tengah menjadi sorotan. Pemeriksaan oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Metro Jakarta Selatan dilakukan terkait dugaan penggunaan bahasa tidak pantas saat menerima laporan pelecehan seksual di KRL yang dilaporkan oleh penumpang berinisial QHS.
Ajun Komisaris Polisi Nurma Dewi, Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Metro Jakarta Selatan, mengonfirmasi bahwa lima personel tersebut telah menjalani pemeriksaan. “Sudah diperiksa lima orang oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam),” ujar Nurma pada Ahad, 21 Juli 2024. Namun, detail mengenai identitas personel yang diperiksa dan waktu penyampaian hasil putusan masih belum dirincikan.
Kasus ini mencuat setelah utas viral yang diunggah oleh QHS di media sosial X sehari sebelumnya. QHS mengungkapkan bahwa ia menjadi korban pelecehan seksual di KRL dari Stasiun Duren Kalibata menuju Stasiun Jakarta Kota pada 16 Juli 2024 pukul 20.15 WIB. Seorang pria berinisial HG (50 tahun) diketahui merekam QHS tanpa izin.
Aksi tersebut diketahui oleh seorang petugas keamanan kereta yang sebenarnya sedang tidak bertugas. Petugas itu segera memberitahu QHS mengenai tindakan HG, dan kemudian QHS melapor kepada petugas keamanan yang sedang bertugas. Saat tiba di Stasiun Kota, pelaku sempat ditahan oleh petugas keamanan kereta. Dalam pemeriksaan, ditemukan sejumlah video QHS di dalam kereta di ponsel HG.
Ironisnya, laporan QHS kepada Polsek Metro Tamansari ditolak dengan alasan perbedaan wilayah hukum. Tidak berhenti di situ, laporan QHS juga ditolak oleh Polsek Metro Menteng dengan alasan yang sama. Ketika akhirnya melapor ke Polsek Tebet, QHS merasa diperlakukan tidak layak oleh petugas di sana. Petugas mengeluarkan komentar yang tidak pantas seperti, “Mbaknya divideoin karena cantik lagi,” dan “Mungkin bapaknya fetish.”
Tidak berhenti di situ, ketika QHS diarahkan melapor ke Polres Metro Jakarta Selatan, kasus ini tidak diproses dengan alasan tidak memenuhi kriteria pelecehan seksual sesuai ketentuan hukum. Seorang polisi wanita di sana mengatakan, “Mbak, kasus ini tidak bisa ditindak pidana karena memang harus sesuai dengan ketentuan harus keliatan alat vital atau sensitif.”
Akhirnya, HG hanya diminta membuat surat pernyataan dan video permintaan maaf. QHS, yang merasa menjadi korban pelecehan, sangat kecewa dengan penanganan polisi namun mengapresiasi tindakan cepat dan koordinasi dari pihak PT KAI (Persero) yang membantu selama proses ini.
“Sebagai seorang korban yang masih dalam rasa trauma dan ketakutan, harus berhadapan dengan birokrasi pelaporan yang berbelit,” ujar QHS. Pengalaman buruk ini mencerminkan lemahnya penanganan polisi terhadap laporan pelecehan seksual, khususnya dalam menangani korban dengan empati dan profesionalisme yang seharusnya.
Kejadian ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, menuntut adanya perubahan mendasar dalam penanganan kasus pelecehan seksual oleh aparat kepolisian. “Penanganan yang tidak memadai dan komentar yang tidak pantas dari petugas menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani laporan pelecehan seksual,” kata seorang aktivis hak perempuan.
Lebih lanjut, aktivis tersebut menyerukan agar kepolisian mengadakan pelatihan intensif bagi personel untuk menangani kasus pelecehan seksual dengan lebih sensitif dan profesional. “Polisi harus mampu memberikan rasa aman bagi korban, bukan malah menambah beban psikologis,” tambahnya.
Merespon kejadian ini, pemerintah disarankan untuk membuka kanal pengaduan di tingkat kelurahan guna memudahkan korban pelecehan seksual dalam melapor tanpa harus berhadapan dengan birokrasi yang rumit. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan bagi korban dalam melapor.
Di sisi lain, masyarakat diimbau untuk lebih waspada dan proaktif dalam melaporkan kejadian pelecehan seksual di KRL maupun dimana saja. Pentingnya kesadaran kolektif dalam melawan tindakan pelecehan dan mendukung korban juga ditekankan oleh berbagai organisasi sosial.
Kasus yang menimpa QHS ini menjadi cerminan nyata betapa masih perlunya reformasi dalam sistem penanganan pelecehan seksual di Indonesia, terutama oleh aparat penegak hukum. Dengan adanya perhatian serius dari pihak kepolisian dan pemerintah, diharapkan kasus serupa tidak terulang dan penanganan pelecehan seksual dapat dilakukan dengan lebih baik, cepat, dan berempati terhadap korban.
Baca juga: Penyelidikan Dugaan Penganiayaan dan Penyekapan oleh Oknum Polisi di Bali Berlanjut
Sumber: Tempo.