WARTAJAYA – Adanya kebijakan moneter yang ketat untuk menahan inflasi, ternyata tidak mampu menghalau berbagai negara agar tidak jatuh ke dalam resesi. Bank Dunia bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi global akan melambat sebesar 2,9% tahun ini.
Pada tahun lalu saja, ekonomi global tumbuh 5,7% karena ekonomi dibuka kembali. Resesi umumnya terjadi ketika perekonomian mengalami pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut. Ini berarti resesi akan semakin dekat datang jika ekonomi tidak segera pulih.
Pada tahun 2020, dunia dilanda resesi akibat pandemi Covid-19 yang mengganggu aktivitas masyarakat. Situasi ini membuat roda ekonomi pun macet.
Dunia berada di ambang resesi kedua dalam dua tahun terakhir, tetapi Indonesia diperkirakan tidak terdampak parah seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan 2020.
“Dampak resesi global terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan tidak separah tahun 2020 atau 1998, dengan kondisi ekonomi riil yang relatif stabil sejauh ini.” kata Josua Pardede, Ekonom Bank Permata.
Namun, seandainya resesi terjadi, dampak apa yang akan dirasakan oleh masyarakat?
Ekspor Indonesia akan terguncang oleh melemahnya pasar global. Ekspor sendiri berkontribusi sebesar 23% terhadap pertumbuhan ekonomi di Kuartal 1-2022. Penurunan ekspor akibat resesi global tentunya akan memangkas PDB Indonesia.
Dan ketika ekspor mandek, itu mempengaruhi eksportir juga. Permintaan yang rendah mempengaruhi pendapatan perusahaan.
Baca juga: Buka Musrenbang, Kapolri Dukung Pemulihan Ekonomi Tahun 2022
Di sisi lain, masih terdapat biaya operasional seperti tagihan listrik, sewa gedung, dan biaya pegawai. Biasanya saat permintaan turun, kapasitas produksi dikurangi untuk meringankan beban.
Selain itu, pekerja menjadi korban pemotongan gaji. Parahnya, ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada akhirnya, daya beli menurun karena pendapatan berkurang atau hilang. Pengangguran juga naik. Yang pasti, ketika pendapatan menurun, pengeluaran akan terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Masalahnya diperparah ketika Anda memiliki hutang yang akan jatuh tempo. “Menggali lubang dan menyumbat lubang”, juga dikenal sebagai meminjam untuk melunasi pinjaman, akan menjadi pilihan populer untuk segera melunasi hutang yang akan jatuh tempo.
Menjual aset dengan harga terbaik itu sulit, terutama selama resesi. Saat itu, daya beli masyarakat masih rendah. Selanjutnya, melihat situasi saat ini, resesi dipicu oleh kenaikan suku bunga bank sentral yang agresif. Sehingga suku bunga pinjaman bisa dinaikkan yang membuat utang semakin mahal.
Di sisi lain, suku bunga deposito juga dapat naik, membuat investasi di bank lebih menguntungkan daripada berinvestasi pada aset berisiko yang terkena dampak. Oleh karena itu, daya beli masyarakat dapat dipengaruhi oleh penurunan pendapatan, peningkatan tingkat kemiskinan.
Sumber : cnbcindonesia.com
Baca juga: Keluarkan TR, Kapolri Minta Hindari Perkara yang Hambat Pertumbuhan Ekonomi