NASIONAL

Kasus Pelanggaran yang Dilakukan Aparat Terkait Mural, KontraS Desak Sejumlah Pihak

Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam berbagai tindakan represif aparat terhadap sejumlah mural yang berisikan kritik terhadap kebijakan Presiden Jokowi dalam penanganan Pandemi Covid-19.

Pasalnya, dalam dua bulan terakhir, setidaknya terdapat enam mural yang berisikan kritik terhadap pemerintah dihapus oleh aparat.

KontraS menilai bahwa momentum kemerdekaan Indonesia yang ke-76, masyarakat belum sepenuhnya menikmati kebebasan dalam menyampaikan ekspresi bahkan melalui karya seni.

Menurutnya, ekspresi mural dalam bentuk apapun, khususnya kritik adalah hak dari warga negara. Mural berisikan kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik terhadap kebijakan yang diambil Jokowi selaku Kepala Negara dalam menangani Pandemi.

Mengacu pada standar hukum HAM internasional pembatasan terhadap hak sipil politik termasuk kemerdekaan menyampaikan pendapat di hadapan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (democratic society) harus diatur berdasarkan hukum (prescribed by law).

Alih-alih memperhatikan ketentuan hukum yang ada, KontraS melihat bahwa Negara melalui aparat kepolisian yang bertugas, justru menunjukkan pemerintah begitu alergi terhadap kritik publik.

Dalam kasus mural bergambarkan wajah Jokowi Not Found, Polisi memburu pembuat mural dengan alasan yang mengada-ada, yaitu telah melakukan penghinaan terhadap Presiden sebagai lambang negara.

Menurut KontraS jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Presiden bukanlah bagian dari lambang negara.

Melukis mural harus dianggap sebagai sarana kreativitas untuk menyampaikan ekspresi kritis warga negara, bukan tindakan kriminal. Mural merupakan bagian dari karya seni dan wujud dari penyaluran bakat.

KontraS mencatat setidaknya ada 19 kasus pelanggaran yang dilakukan aparat dengan bentuk pengejaran pengunggah konten, intimidasi penghapusan dokumentasi, penangkapan dan penetapan tersangka pengunggah dokumentasi, penganiayaan pelaku dokumentasi, kekerasan dan pemerasan pengunggah konten, penghapusan mural, dan persekusi pelaku pembuat konten.

Rangkaian kejadian tersebut juga akan berimplikasi pada kemunduran demokrasi dan penyusutan ruang sipil sebagaimana yang terjadi pada zaman otoritarian orde baru.

Ketimbang menertibkan kritik yang disampaikan melalui mural, pemerintah seharunya membuka saluran komunikasi dan ruang diskusi seluas-luasnya kepada masyarakat.

Dilansir Pikiran-Rakyat.com dari KontraS, maka pihaknya mendesak sejumlah pihak untuk:

Pertama, Pemerintah Daerah menjamin kebebasan berekspresi warga negara dalam bentuk apapun sebagai bagian dari kebebasan sipil dan menjaga marwah demokrasi di Indonesia

Kedua, Kepolisian Republik Indonesia menghentikan bentuk pendekatan penegakan hukum yang cenderung represif dan tidak perlu dan harus melakukan evaluasi terhadap anggotanya yang mengekang kebebasan masyarakat sipil lewat langkah teknis yang diambil.

Kepolisian seharusnya fokus melakukan penegakan hukum dan pengawasan terhadap tindak pidana lain yang esensial, bukan justru mengurusi kritik.***

Related Articles

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button