Jakarta, CNN Indonesia —
Peringatan Hari Bumi Internasional yang diperingati saban 22 April di seluruh penjuru dunia selalu berkelindan dengan isu-isu lingkungan seperti pemanasan global dan perubahan iklim.
Peneliti LAPAN Eko Waluyo Cahyono dalam paper-nya Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Lingkungan Bumi (2010) menulis peringatan Hari Bumi saban 22 April ini tak lepas dari gagasan Gaylord Nelson, seorang senator di Amerika Serikat pada dekade 1960an. Dalam pidato Nelson yang disampaikan pada tahun 1969 di Seattle, Nelson mendesak agar isu-isu lingkungan menjadi perhatian. Hari Bumi lantas diperingati setiap tanggal 22 April.
Persoalan lingkungan juga menjadi sorotan dalam sekuel film dokumenter An Inconvenient Truth (2006) dan An Inconvenient Sequel: Truth to Power (2017) karya Wakil Presiden Amerika Serikat dua periode (1993-2001) Albert Arnold Gore Jr atau Al Gore.
Al Gore menggambarkan mengerikannya dampak perubahan iklim: bongkahan es yang pecah dan mencair di kutub, banjir bandang, badai, polusi, dan bencana lain yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Pemanasan global diyakini memicu persoalan lingkungan ini. Aktivitas manusia menggunakan teknologi mesin yang bergantung pada energi fosil menjadi penyebab kenaikan panas bumi. Penggunaan energi fosil seperti bensin, batu bara, dan lainnya menghasilkan miliaran ton gas CO2 setiap tahunnya ke atmosfer.
Sebab selubung gas tersebut, panas matahari yang masuk ke dalam bumi tidak bisa dipantulkan ke luar. Panas dari matahari pun terjebak di dekat permukaan bumi hingga menimbulkan efek rumah kaca atau pemanasan global. Naiknya suhu di bumi berdampak pada kenaikan muka air laut, mengakibatkan perubahan pada batas-batas pantai.
“Kenaikan Permukaan laut mempunyai dampak langsung pada garis pantai dan bahkan dapat membanjiri pulau-pulau kecil atau kawasan kota yang rata dengan pantai,” tulis Eko dalam karya ilmiahnya.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana mengkritik cara pemerintah dalam menyesuaikan diri terhadap upaya mencegah pemanasan global semakin parah.
Menurutnya, pemerintah tak responsif dalam beberapa hal. Salah satunya, kata Wahyu, sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih mengacu pada standar lama yang membatasi kenaikan suhu hingga 2 derajat Celcius. Padahal Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau panel iklim PBB telah merekomendasikan batas rata-rata kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius.
“Sebenarnya diadopsi setengah-setengah oleh KLHK. Mereka nggak mau pakai 1,5 tapi masih pakai standar yang lama 2 derajat celcius,” kata Wahyu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (21/4).
|
Pada saat yang sama, pemerintah juga disebutkannya menghapus pasal yang menetapkan batas minimum kawasan hutan 30 persen. Ketetapan ini tercantum dalam Undang-Undang Penataan Ruang dan Undang-Undang Kehutanan. Namun, kedua pasal tersebut dihapus pemerintah melalui UU Omnibus Law.
“Jadi apakah dalam konteks perubahan iklim makin baik? Faktualnya kita berhadapan dengan risiko perubahan iklim yang makin parah,” ujar Wahyu.
Dampak perubahan iklim ini, kata Wahyu, telah dirasakan masyarakat. Merujuk pada data-data yang dihimpun Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Bencana tersebut antara lain seperti angin topan, siklon, dan bencana ekologis lainnya. Wahyu menyebut bencana ekologis karena prahara itu timbul tidak semata dari alam, melainkan ada campur tangan manusia.
Selain itu, kata Wahyu, saat ini izin lingkungan tidak lagi menjadi syarat izin membuka usaha.
“Ada perilaku kebijakan, ada perilaku manusia dalam hal ini korporasi secara luas yang mendorong perubahan iklim,” tutur Wahyu.
Sejak awal April ini, di laman petisi daring change.org, ramai-ramai publik meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Indonesia darurat iklim. Petisi yang diinisiasi lebih dari 180 orang dan organisasi itu muncul setelah serangkaian bencana alam melanda sejumlah titik di Indonesia, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada awal April ini akibat dampak siklon tropis Seroja.
BMKG sendiri mengonfirmasi salah satu faktor yang membuat fenomena siklon tropis terjadi masih di wilayah Indonesia dan berdampak pada bencana hidrometeorologi itu tak lepas dari pemanasan global.
“Diyakini oleh para ahli iklim bahwa, pemanasan global yang salah satunya ditunjukkan pula oleh peningkatan suhu lautan akan menjadikan siklon tropis lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang,” ujar Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/4).
Di Indonesia, sejumlah stasiun pengukuran suhu permukaan BMKG mengindikasikan tren peningkatan, meski bervariasi. Di Jakarta, data suhu rata harian dari 1866 (zaman Belanda) hingga tahun 2010 kemarin menunjukkan peningkatan 1.6 derajat Celsius selama 130 tahun.