JAKARTA, KOMPAS.com – Nama mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sedang ramai diperbincangkan lantaran dilaporkan oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni ITB ke Komisi Aparatur Sipil Negara ( KASN) dan Badan Kepegawaian Negara ( BKN). GAR Alumni ITB melaporkan Din karena menilai eks Ketua Umum PP Muhammadiyah itu dinilai melanggar sejumlah prinsip kepegawaian. Berdasarkan halaman pertama surat laporan GAR ITB, Din Syamsudin diduga melakukan enam pelanggaran yakni pertama, Din dinilai bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya.
Kedua, Din dinilai mendiskreditkan pemerintah dan menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang berisiko terjadinya proses disintegrasi negara. Ketiga, Din dinilai melakukan framing menyesatkan pemahaman masyarakat dan menciderai kredibilitas pemerintah. Keempat, Din dinilai menjadi pimpinan dari kelompok beroposisi pemerintah. Kelima, Din dinilai menyebarkan kebohongan, melontarkan fintah, serta mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Kompas.com mencoba merangkum kritikan-kritikan dan sikap kritis yang disampaikan Din kepada pemerintah hingga akhirnya memunculkan pelaporan oleh GAR Alumni ITB ke KASN dan BKN. Berikut paparannya:
1. Balas pernyataan Moeldoko soal KAMI yang dianggap mengganggu stabilitas politik
Din Syamsuddin yang kala itu mewakili Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia ( KAMI) membalas pernyataan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko yang menilai keberadaan kelompok tersebut mengganggu stabilitas politik nasional.
Din meminta pemerintah lebih terbuka dalam menerima kritik yang disampaikan semua pihak termasuk KAMI. Menurut dia, penyampaian aspirasi oleh publik, yang dalam hal ini penyampaian pendapat di depan umum, merupakan salah satu bentuk kebebasan berpendapat yang diatur di dalam Undang Undang Dasar 1945.
“Apakah kritik dan koreksi KAMI yang menciptakan instabilitas ataukah kebijakan pemeirntah yang tidak bijak, anti-kritik, dan tidak mau mendengar aspirasi rakyat yang justru berandil dalam menciptakan instabilitas itu?” ucap Din pada Jumat (2/10/2020).
Din pun meminta agar Moeldoko tidak perlu melontarkan bernada ancaman dalam menanggapi kritik yang disampaikan KAMI maupun kelompok masyarakat lainnya atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
“Pada era demokrasi modern dewasa ini arogansi kekuasaan, sikap represif dan otoriter sudah ketinggalan zaman. Bagi KAMI semakin mendapat tantangan dan ancaman akan menjadi pelecut untuk tetap beristikamah dalam perjuangan,” kata dia.
- Kritik UU Cipta Kerja
Masih mewakili Presidium KAMI, Din mengatakan, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi menimbulkan kegaduhan besar di Indonesia. Menurut Din, pemerintah dan DPR terlalu tergesa-gesa dalam mengesahkan UU tersebut.
“UU Ciptaker atau Omnibus Law Ciptaker sangat potensial menimbulkan kegaduhan nasional yang besar,” kata Din pada 5 Oktober 2020. “Pemerintah tidak menyadari dan bahkan terkesan mendukung DPR untuk bergesa-gesa mengesahkannya pada waktu malam hari, tanpa membuka ruang bagi aspriasi rakyat,” lanjut dia.
Selain UU Cipta Kerja, KAMI juga menyoroti rancangan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sempat menuai kegaduhan publik. Din pun mempertanyakan apakah pemerintah benar-benar ingin mencegah kegaduhan di Indonesia. “Walaupun sudah digugat oleh organisasi masyarakat, seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan banyak lagi karena dinilai merendahkan Pancasila, namun masih termaktub dalam Prolegnas,” ucap dia.
- Tolak KAMI dikaitkan dengan kerusuhan demonstasi UU Cipta Kerja
Din juga menolak organisasinya, KAMI, dikaitkan dalam tindakan anarkistis saat unjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut dia, KAMI secara kelembagaan belum turut serta dalam aksi unjuk rasa tersebut.
“Tapi, KAMI secara kelembagaan belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan,” kata Din, Rabu (14/10/2020).
Din justru meminta aparat kepolisian untuk mengusut siapa auktor intelektualis dalam unjuk rasa yang berlangsung ricuh tersebut. Oleh karena itu, ia menolak KAMI dikaitkan dalam aksi unjuk rasa anarkistis tersebut.
“KAMI menolak secara kategoris penisbatan atau pengaitan tindakan anarkistis dalam unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa, dan pelajar dengan organisasi KAMI,” ujar dia.
- Protes penangkapan aktivis KAMI yang bermotif politik
Din juga memprotes penangkapan aktivis KAMI oleh polisi. Hal itu disampaikan Din menanggapi penangkapan delapan orang petinggi kami itu berlangsung di tengah demontrasi UU Cipta Kerja yang beberapa kali berakhir dengan kerusuhan.
Kedelapan orang tersebut ditangkap dengan delik penyebaran narasi bernada permusuhan dan SARA. “KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat,” kata Din pada 14 Oktober 2020.
Din menilai penangkapan tokoh KAMI terlihat janggal terutama terkait dimensi waktu, dasar laporan Polisi dan keluarnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada hari yang sama. Ia melanjutkan juga seharusnya paling tidak ada dua alat bukti untuk bisa melakukan penangkapan.
“Lebih lagi jika dikaitkan dengan KUHAP Pasal 17 tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa ‘dapat menimbulkan’,” ujarnya.
“Maka penangkapan para Tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis,” ucap dia.
- Desak pembentukan TGPF untuk usut kematian petugas KPPS di Pilpres 2019
Din yang kala itu masih menjabta Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama sejumlah tokoh dari Aliansi Masyarakat Peduli Tragedi Kemanusiaan Pemilu 2019 juga pernah mengusulkan pembentukan tim gabungan pencari fakta terkait meninggalnya ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Hal itu ia ungkapkan saat bertemu Ketua DPR Bambang Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2019). “Poinnya adalah kami mendesak agar adanya tim gabungan pencari fakta dan bila perlu melibatkan unsur masyarakat supaya clear,” ujar mantan ketua PP Muhammadiyah itu saat ditemui seusai pertemuan.
Selain itu, Din dan perwakilan aliansi meminta dilakukannya otopsi oleh pihak yang berwenang untuk mengetahui penyebab meninggalnya petugas KPPS.
“Kalau mau menyingkap penyebab kematian kan harus ada otopsi, tidak ada cara lain. itu dilakukan lah semua supaya jernih sehingga tidak lagi menyesatkan atau muncul dugaan-dugaan,” ucapnya.
Menurut Din, pembentukan tim gabungan pencari fakta penting dilakukan untuk menyelidiki penyebab kematian yang ia anggap masif. Din mengatakan, jika pemerintah tidak segera mengungkap, maka hal itu akan menjadi stigma dan preseden buruk ke depannya.
“Juga jadi menjadi semacam dosa bawaan terhadap siapapun yang diberi amanat kepemimpinan nanti, baik di DPR ataupun pemerintahan, bahwa ada sesuatu yang tak dijelaskan,” kata Din.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Jumat (10/5/2019), jumlah penyelenggara pemilu ad hoc yang meninggal dunia tercatat 469 orang. Selain itu, sebanyak 4.602 lainnya dilaporkan sakit.
Penyelenggara yang dimaksud meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Baik penyelenggara pemilu yang meninggal maupun sakit sebagian besar disebut karena kelelahan dan kecelakaan.