voaindonesia.com – Sejumlah lembaga swadaya Hak Asasi Manusia (HAM) mempertanyakan keseriusan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa masyarakat dipersilahkan untuk mengkritik pemerintah. Masalahnya, selama ini masyarakat banyak yang justru dipidana karena mengkritik kebijakan pemerintah.
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid mengatakan mengeluarkan sebuah pendapat dan kritik terhadap pemerintah bukanlah tindakan kriminal, tapi banyak pasal-pasal karet yang digunakan untuk menjerat masyakarat. Ia mencontohkan pasal pencemaran nama baik yang dalam perspektif HAM, harusnya tidak lagi mengandung sanksi bersifat pidana.
“Artinya kalau pemerintah sunguh-sungguh di dalam mengundang partisipasi masyarakat dalam menyatakan pendapat, dalam menyampaikan kritik ya harusnya ditempuh dengan membebaskan orang-orang yang dipenjara karena mengkritik atau merevisi UU atau pasal-pasal yang bermasalah yang bisa digunakan untuk membungkam kritik,” ungkapnya kepada VOA, Minggu (14/2).
Usman menambahkan, pada 2020 terdapat 132 kasus pelanggaran kebebasan berekpresi yang berhubungan dengan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Eletronik, seperti pencemaran nama baik atau penghinaan kepada Presiden yang korbannya mencapai 156 orang, terdiri dari warga biasa, jurnalis hingga aktivis.
Senada dengan Usman, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, mengatakan pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintah lain terkait hal tersebut hanya akan menjadi sebuah omong kosong apabila tidak ada perubahan kebijakan hukum di dalamnya.
Salah satu kebijakan hukum yang dimaksud Asfin adalah surat telegram Kapolri yang isinya mengancam atau memerintahkan tindakan yang represif terhadap penyebar berita bohong atau hoaks yang menghina Presiden.
“Padahal itu sebenarnya menghina Presiden sudah dinyatakan tidak mengikat oleh putusan MK, sehingga kalau Presiden merasa terhina dia harus mengadu sendiri. Itu kan dihidupkan lagi pada polisi, dan Kapolri itu kan bawahan langsung Presiden,” ujarnya kepada VOA, Minggu (14/2).
“Memang pernyataan itu sangat kontradiktif dengan apa yang terjadi. Jadi kalau ucapan itu serius maka kebijakan-kebijakan ini mestinya diperintahkan untuk dicabut karena itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan UU,” tambah Asfinawati.
Ia menduga, pernyataan pemerintah tentang kritik mengkritik ini hanyalah sebuah kontra narasi dari pemerintah untuk melawan indeks demokrasi Indonesia yang sudah mundur jauh dalam beberapa waktu terakhir ini.
“Dan sebagai temuan pelanggaran HAM dari berbagai organisasi. Jadi kontra narasi saja pada akhirnya, melawan narasi,” tuturnya.
Maka dari itu, ujar Asfina, perlu adanya langkah nyata dari pemerintah untuk bisa memperbaiki hal ini, termasuk dengan mengubah kebijakan hukum yang ada. Kondisi tersebut diharapkan akan mencegah pemenjaraan masyarakat hanya karena mengungkapkan sebuah pendapat atau menyampaikan kritik kepada pemerintah.
“Sebetulnya untuk jangka pendek tanpa mengubah UU itu pun, kebijakan penegakan hukum itu sudah bisa mengurangi kriminalisasi. Misalnya kan KUHP itu sudah 100 tahun umurnya, sejak Indonesia merdeka pakainya KUHP,” katanya.
Namun, lanjut Asfina, korban yang dikriminalisasi karena menghina Presiden, atau hoaks, berbeda-beda jumlahnya.
“Artinya sebetulnya ada sebuah kebijakan penegakan hukum dan kebijakan penegakan hukum itu sangat tergantung dari pemerintah, kenapa? Karena di atasnya Kapolri tidak ada kementerian langsung Presiden,” pungkasnya.
Harus Sesuai UUD 1945
Menanggapi narasi yang berkembang di masyarakat, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menegaskan apabila masyarakat tidak akan terjerat hukum selama sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam mengkritik pemerintah.
“Pasti tidak ada masalah, karena kewajiban pemerintah/negara adalah melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak konstitusional setiap WNI yang merupakan Hak Asasi Manusia tanpa kecuali. Presiden Jokowi tegak lurus dengan Konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku,” ujarnya dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (13/2).
Masyarakat, lanjt Fadjroel, harus mempelajari dengan seksama berbagai aturan terkait hal ini, seperti UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang BERHAK atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Kemudian pasal 28J, yang berbunyi “Dalam menjalankan HAK dan KEBEBASANNYA, setiap orang wajib tunduk kepada PEMBATASAN yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
“Kalau memasuki media digital, baca dan simak UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perhatikan baik-baik ketentuan pidana pasal 45 ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan; ayat (2) tentang muatan perjudian; ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman,” jelas Fadjroel.
Ia juga meminta masyarakat memperhatikan isi pasal 45a ayat (1) yang berbunyi dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen. Kemudian ayat (2) yang berisi tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA.
Lalu, pasal 45b tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
“Kalau ingin menyampaikan kritik dengan unjuk rasa, baca dan simak UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” tuturnya.
Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Donny Gahral, menambahkan bahwa pemerintah tidak antikritik. Kritik dari masyarakat, ujar Donny, dianggap sebagai masukan untuk memperbaiki kinerja pemerintah di masa depan.
“Jadi prinsipnya pemerintah tidak antikritik. Setiap hari pemerintah dihujani kritik dari berbagai komponen masyarakat, individu, ormas, akademisi, toh semua tidak kemudian dibungkam,” ungkap Donny kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (13/2).
Menurutnya, kalaupun ada pihak yang mengadukan kritikan kepada pihak kepolisian, aduan tersebut bukan berasal dari pemerintah. Selain itu, apabila memang tidak ditemukan unsur pidana, maka laporan tersebut biasanya tidak akan diproses oleh pihak yang berwajib.
“Mereka tidak terafiliasi kepada pemerintah. Jadi dalam demokrasi itu wajar. Ada yang pro ada yang anti. Dua-duanya punya pendukung masing-masing. Kalau pemerintah dikiritik pasti ada pendukung yang bereaksi. Sejauh reaksinya wajar ya tidak ada masalah. Kalau berlebihan, kelewat batas, ya pasti akan diproses hukum,” jelasnya.
Pemerintah, kata Donny, hanya bisa mengimbau pendukung untuk tidak melaporkan kritikan masyarakat kepada pihak kepolisian karena pendukung berada di luar pemerintahan. Pihaknya berharap semua hal yang dilakukan tetap mengikuti peraturan yang ada dan tidak melanggar hukum.
“Masyarakat tidak perlu khawatir, sejauh masukan itu berbasis data, fakta, argumen yang kuat, pasti akan diterima. Misalnya soal bansos. Ada kritik nggak tepat sasaran, ada data yang salah, ada orang yang sudah meninggal tetap dapat, itu kan kritik yang kemudian ditindaklanjuti dengan perbaikan,” pungkasnya.